Topik Trending

OPINI

Drs. La Masiru , Koordinator Liputan gosultranews.com Wilayah Kepulauan Buton

OPINI.gosultranews.com (Sabtu/03/05/2025)-Di tengah keberagaman etnis dan budaya di Sulawesi Tenggara, Wakatobi dikenal bukan hanya karena keindahan bawah lautnya, tetapi juga karena nilai-nilai kerukunan yang mengakar kuat dalam kehidupan masyarakatnya. Namun, apa hubungannya dengan Kota Baubau, yang secara geografis terpisah secara otonom ? Jawabannya terletak pada keterikatan sejarah, budaya, dan semangat hidup berdampingan yang terus relevan hingga kini. Riset tentang budaya kerukunan di Nusantara menunjukkan adanya berbagai upaya dan praktik yang menjaga kerukunan antar umat beragama dan masyarakat, serta peran penting kearifan lokal dan seni budaya dalam memelihara kerukunan.

Masyarakat Wakatobi dikenal dengan tradisi musyawarah, gotong royong, serta toleransi antar kelompok etnis dan agama. Prinsip-prinsip tersebut tidak hanya hidup di empat pulau utama Wakatobi (Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko), tetapi juga terbawa oleh warganya yang merantau, termasuk ke Kota Baubau.

Baubau sebagai kota pelabuhan dan pintu gerbang antar kepulauan telah lama menjadi tempat berkumpulnya berbagai suku, termasuk warga asal Wakatobi. Di kota ini, kita melihat bagaimana masyarakat dari latar belakang berbeda bisa hidup berdampingan dengan damai. Budaya kerukunan dari Wakatobi menjadi salah satu fondasi penting dalam pembentukan iklim sosial di Baubau.

Kota Baubau bukan hanya menjadi simpul mobilitas antarwilayah di Kepulauan Buton dan sekitarnya, tetapi juga menjadi tempat bertemunya berbagai etnis dan budaya dari seluruh pelosok Sulawesi Tenggara, termasuk dari Wakatobi. Di antara arus urbanisasi dan perkembangan kota, nilai-nilai kerukunan yang diwariskan oleh masyarakat Wakatobi tetap relevan dan bahkan strategis, khususnya dalam mendukung arah kepemimpinan Wali Kota H. Yusran Fahim, SE dan Wakil Wali Kota Ir. Wa Ode Hamsinah Bolu, M.Sc.

Pengaruh Positif dalam Kehidupan Sosial

Warga Wakatobi di Baubau umumnya aktif dalam kegiatan sosial, keagamaan, dan ekonomi. Mereka menunjukkan bahwa perbedaan bukan penghalang, melainkan kekuatan. Dalam berbagai komunitas dan paguyuban, mereka menjaga komunikasi yang baik dan berpartisipasi aktif dalam menjaga ketentraman kota. Tiga falsafah utama dalam budaya Buton yang sering disebut adalah “Pobhinci-bhinci kuli”, “Pomae-maeka”, dan “Poangka-angkataka”. Falsafah ini mengajarkan tentang penghargaan, rasa kasih sayang, dan penghormatan antar sesama manusia, serta pentingnya menjaga martabat dan harkat manusia

Menjadi perekat di tengah keberagaman

Di tengah tantangan globalisasi dan potensi konflik akibat perbedaan pandangan, kerukunan ala Wakatobi menjadi inspirasi. Kota Baubau, yang kini berkembang menjadi kota modern, bisa tetap memegang erat nilai-nilai tradisional tersebut sebagai penyeimbang. Generasi muda perlu mengenal dan menghidupkan kembali semangat ini, agar pluralitas tetap menjadi kekuatan, bukan sumber perpecahan.

Relevansi kerukunan Wakatobi di Kota Baubau bukan hanya soal sejarah atau budaya, tetapi tentang pilihan hidup bersama dalam damai. Di tengah perubahan zaman, nilai-nilai itu masih sangat dibutuhkan. Karena sejatinya, kota yang besar bukan hanya diukur dari gedung tinggi dan ekonomi yang maju, tapi juga dari seberapa kuat ia menjaga harmoni antar warganya.


Penulis : Drs. La Masiru / Korrdinator Liputan Gosultranews.com

Wilayah Kepulauan Buton

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Share Article: